Minggu, 29 September 2013

Penggolongan Obat Kimia


 

Menurut definisi yang lengkap, obat adalah bahan kimia atau paduan/campuran bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa (fungsi diagnostik), pencegahan (fungsi profilaktik), dan penyembuhan penyakit (fungsi terapeutik), termasuk di dalamnya peredaan gejala, pemulihan, perbaikan dan peningkatan kesehatan serta pengubahan fungsi organik, baik pada manusia ataupun hewan. Termasuk di dalamnya kontrasepsi dan sediaan biologis lainnya (Penjelasan atas PP RI No.72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan).
Secara garis besar, bahan dasar obat dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu berasal dari:

  • Bahan-bahan yang secara alami disintesis di dalam tubuh, baik manusia, hewan, tumbuhan, atau makhluk hidup lainnya, termasuk di dalamnya obat herbal/ tradisional (TR).
  • Bahan-bahan kimia yang secara alami tidak disintesis di dalam tubuh, oleh masyarakat disebut sebagai “obat kimia”, termasuk di dalamnya obat sintetik dan obat semi-sintetik.
Berdasarkan Undang-Undang No.7 tahun 1963 tentang Farmasi, obat-obatan kimia dapat digolongkan menjadi 5 (lima) kategori, yang dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi masing-masing. Kelima kategori tersebut apabila diurutkan dari yang paling longgar hingga yang paling ketat mengenai peraturan pengamanan, penggunaan, dan distribusinya adalah sebagai berikut:
  1. Obat Bebas.
  2. Obat Bebas Terbatas (Daftar W atau ”Waarschuwing”, waspada).
  3. Obat Keras (Daftar G atau ”Gevaarlijk”, berbahaya).
  4. Obat Psikotropika (OKT, Obat Keras Terbatas).
  5. Obat Narkotika (Daftar O atau ”Opium”).


Yang termasuk di dalam kelima golongan tersebut di atas adalah obat yang dibuat dengan bahan-bahan kimia dan/atau dengan bahan-bahan dari unsur tumbuhan dan hewan yang sudah dikategorikan sebagai bahan obat atau campuran/paduan keduanya, sehingga berupa obat sintetik dan obat semi-sintetik, secara berturut-turut. Obat herbal/ tradisional (TR) tidak termasuk dalam kelompok ini. Baca mengenai Penggolongan Obat Tradisional di SINI.

Berikut penjabaran untuk masing-masing golongan tersebut:
1. OBAT BEBAS (OB).
Pada kemasannya terdapat tanda lingkaran hijau bergaris tepi hitam.
Merupakan obat yang paling “aman”, boleh digunakan untuk menangani penyakit-penyakit simptomatis ringan yang banyak diderita masyarakat luas yang penanganannya dapat dilakukan sendiri oleh penderita atau self medication (penanganan sendiri). Obat ini telah digunakan dalam pengobatan secara ilmiah (modern) dan terbukti tidak memiliki risiko bahaya yang mengkhawatirkan.
OB dapat dibeli secara bebas tanpa resep dokter, baik di apotek, counter obat di supermarket/toko swalayan, toko kelontong, bahkan di warung, disebut juga obat OTC (Over the Counter). Penderita dapat membeli dalam jumlah yang sangat sedikit, seperlunya saja saat obat dibutuhkan. Jenis zat aktif pada OB relatif aman sehingga penggunaanya tidak memerlukan pengawasan tenaga medis selama diminum sesuai petunjuk yang tertera pada kemasan obat. Oleh karena itu sebaiknya OB tetap dibeli bersama kemasannya.
OB digunakan untuk mengobati gejala penyakit yang ringan yang bersifat nonspesifik, misalnya: beberapa analgetik atau pain killer (obat penghilang rasa nyeri), obat gosok, obat luka luar, beberapa antipiretik (obat penurun panas), beberapa analgetik-antipiretik (obat pereda gejala flu), antasida, beberapa suplemen vitamin dan mineral, dll.

2. OBAT BEBAS TERBATAS (OBT).
Pada kemasannya terdapat tanda lingkaran biru bergaris tepi hitam.
Obat ini sebenarnya termasuk dakam kategori obat keras, akan tetapi dalam jumlah tertentu masih dapat diperjualbelikan secara bebas tanpa resep dokter. Sebagai obat keras, penggunaan obat ini diberi batas untuk setiap takarannya. Seharusnya obat ini hanya dapat dijual bebas di toko obat berizin yang dipegang oleh seorang asisten apoteker, serta apotek yang hanya boleh beroperasi jika ada apoteker. Hal ini karena diharapkan pasien memperoleh informasi obat yang memadai saat membeli obat yang termasuk golongan ini.
Sesuai dengan SK MenKes RI No.6355/Dirjen/SK/1969, pada kemasan OBT harus tertera peringatan yang berupa kotak kecil berukuran 5×2 cm berdasar warna hitam atau kotak putih bergaris tepi hitam, dengan tulisan sebagai berikut:


Contoh OBT adalah: pain relief (analgesik), obat batuk, obat pilek, obat influenza, obat penghilang rasa nyeri dan penurun panas pada saat demam (analgetik-antipiretik), beberapa suplemen vitamin dan mineral, obat-obat antiseptik, obat tetes mata untuk iritasi ringan, dll.
Memang, dalam keadaaan dan batas-batas tertentu, sakit yang ringan masih dibenarkan untuk melakukan pengobatan sendiri (self medication) menggunakan obat-obatan dari golongan OB dan OBT yang dengan mudah diperoleh masyarakat. Dianjurkan untuk tidak sekali pun melakukan uji coba obat sendiri terhadap obat-obat yang seharusnya diperoleh dengan menggunakan resep dokter (SK MenKes RI No.2380 tahun 1983).
Setelah upaya self medication, apabila kondisi penyakit semakin serius, tidak kunjung sembuh setelah sekitar 3-5 hari, maka sebaiknya segera memeriksakan diri ke dokter. Oleh karena itulah semua kemasan OB dan OBT wajib mencantumkan tanda peringatan “apabila sakit berlanjut segera hubungi dokter” (SK MenKes RI No.386 tahun1994).
Dalam rangka self medication menggunakan OB atau OBT, perhatikan kemasan dan brosur yang terdapat di dalamnya. Berdasarkan SK MenKes No.917 tahun 1993, pada setiap kemasan/brosur OB dan  OBT harus menyebutkan informasi obat sebagai berikut:


  • Nama obat (merek dagang dan kandungannya).
  • Daftar dan jumlah bahan berkhasiat yang terkandung di dalamnya.
  • Nama dan alamat produsen tertulis dengan jelas.
  • Izin beredar ditunjukkan dengan adanya nomor batch dan nomor registrasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) atau Departemen Kesehatan (DepKes).
  • Kondisi obat masih baik. Perhatikan tanggal kadaluwarsa (masa berlaku) obat.
  • Indikasi (petunjuk kegunaan obat).
  • Kontra-indikasi (petunjuk penggunaan obat yang tidak diperbolehkan).
  • Efek samping (efek negatif yang timbul, yang bukan merupakan kegunaan obat).
  • Petunjuk cara penggunaan.
  • Dosis (takaran) dan aturan penggunaan obat.
  • Cara penyimpanan obat.
  • Peringatan.
  • Informasi tentang interaksi obat yang bersangkutan dengan obat lain yang digunakan dan/atau dengan makanan yang dikonsumsi.

3. OBAT KERAS (OK).
Pada kemasannya terdapat tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya.
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit, memicu munculnya penyakit lain sebagai efek negatifnya, hingga menyebabkan kerusakan organ-organ tubuh, bahkan dapat menyebabkan kematian.  Oleh karena itu, golongan obat ini hanya boleh diberikan atas resep dokter umum/spesialis, dokter gigi, dan dokter hewan.
Yang termasuk ke dalam golongan OK adalah:
  • “Daftar G”, seperti: antibiotika, obat-obatan yang mengandung hormon, antidiabetes, antihipertensi, antihipotensi, obat jantung, obat ulkus lambung, dll.
  •  “Daftar O” atau obat bius/anestesi, yaitu golongan obat-obat narkotika.
  • Obat Keras Tertentu (OKT) atau psikotropika, seperti: obat penenang, obat sakit jiwa, obat tidur, dll.
  • Obat Generik dan  Obat Wajib Apotek (OWA), yaitu obat yang dapat dibeli dengan resep dokter, namun dapat pula diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter dengan jumlah tertentu, seperti antihistamin, obat asma, pil antihamil, beberapa obat kulit tertentu, antikoagulan, sulfonamida dan derivatnya, obat injeksi, dll.
  • Obat yang dibungkus sedemikian rupa, digunakan secara enteral maupun parenteral, baik dengan cara suntikan maupun dengan cara lain yang sigatnya invasif.
  • Obat baru yang belum tercantum di dalam kompedial/farmakope terbaru yang berlaku di Indonesia
  • Obat-obatan lain yang ditetapkan sebagai obat keras melalui SK MenKes RI.

4. PSIKOTROPIKA.
Tanda pada kemasannya sama dengan tanda pada Obat Keras.
Obat-obatan golongan ini mulai dari pembuatannya, pengemasan, distribusi, sampai penggunaannya diawasi secara ketat oleh pemerintah (BPOM dan DepKes) dan hanya boleh diperjualbelikan di apotek atas resep dokter. Tiap bulan apotek wajib melaporkan pembelian dan peenggunaannya kepada pemerintah.
Psikotropika atau biasa disebut sebagai ”obat penenang” (transquilizer), adalah zat/ obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang bersifat psikoaktif melalui pengaruh stimulatif selektif pada susunan syaraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Fungsi psikotropika adalah sebagai berikut:
  1. Antidepresan: meredakan kegiatan syaraf, menurunkan aktivitas otak dan fungsi tubuh, atau sebagai penenang.
    Contohnya: phenobarbital, diazepam, alprazolam.
  2. Stimulan: merangsang stimulasi kegiatan syaraf dan fungsi tubuh sehingga mengurangi rasa mengantuk, lapar, serta menimbulkan rasa gembira dan semangat yang berlebihan (efek euforia).
    Contohnya: amfetamin, metamfetamin, dan derivatnya.
  3. Halusinogen: menimbulkan halusinasi dan ilusi (mengkhayal), gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan (mood), kesadaran diri, dan tingkat emosional terhadap orang lain sehingga tidak mampu membedakan yang realitas dan fantasi.
    Contohnya: THC, LSD, psilobisin.
Berdasarkan UU RI No.5 Tahun 1997 tentang psikotropika, obat ini dapat dibagi dibagi menjadi 4 (empat) golongan yaitu:
  • Psikotropika gol. I: Hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak dapat digunakan dalam terapi pengobatan, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
    Contoh: Meskalina, MDMA (ekstasi), LSD, STP.
  • Psikotropika gol. II: Berkhasiat untuk pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
    Contoh: Amfetamin, Metamfetamin (sabu), Fensiklidin, Ritalin.
  • Psikotropika gol. III: Berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
    Contoh: Pentobarbital, Amobarbital, Flunitrazepam, Pentazosina.
  • Psikotropika gol. IV: Berkhasiat untuk pengobatan yang sangat luas, digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantunagan.
    Contoh: Alprazolam, Diazepam, Klobozam, Fenobarbital, Barbital, Klorazepam, Klordiazepoxide, Nitrazepam.
Lebih lanjut, silakan baca/unduh undang-undang tentang psikotropika selengkapnya di SINI :cool:.

5. NARKOTIKA.
Pada kemasannya terdapat tanda seperti medali berwarna merah.
Secara awam obat narkotika disebut sebagai “obat bius”.  Hal ini karena dalam bidang kedokteran, obat-obat narkotika umum digunakan sebagai anestesi/obat bius dan analgetik/obat penghilang rasa nyeri.
Seperti halnya psikotropika, obat narkotika sangat ketat dalam hal pengawasan mulai dari pembuatannya, pengemasan, distribusi, sampai penggunaannya. Obat golongan ini hanya boleh diperjualbelikan di apotek atas resep dokter, dengan menunjukkan resep asli dan resep tidak dapat dicopy. Tiap bulan apotek wajib melaporkan pembelian dan penggunannya kepada pemerintah.
Menurut UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, obat-obatan yang tergolong sebagai Narkotika adalah zat/obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan tingkat kesadaran (fungsi anestesia), hilangnya rasa, menghilangkan rasa nyeri (sedatif), munculnya rangsangan semangat (euforia), halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan, dan dapat menimbulkan efek ketergantungan bagi penggunanya.
Narkotika dapat dibedakan lagi menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:
  • Narkotika gol.I: berpotensi sangat tinggi menyebabkan ketergantungan sehingga dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengobatan. Dalam jumlah terbatas dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, reagensia diagnostik, dan reagensia laboratorium.
    Contoh: heroin, kokain, ganja/marijuana.
  • Narkotika gol.II: berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan. Dapat digunakan untuk terapi pengobatan, namun sebagai pilihan terakhir.
    Contoh: morfin, petidin, metadon
  • Narkotika gol.III: berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan. Banyak digunakan dalam terapi pengobatan, namun tetap dalam pengawasan yang sangat ketat.
    Contoh: kodein.
Lebih lanjut, silakan baca/unduh undang-undang tentang narkotika selengkapnya di SINI :cool:.


Demikian sekelumit mengenai penggolongan obat. Bagaimanapun, obat adalah racun. Hanya dalam takaran yang sesuai dan penggunaan yang tepat maka ia akan bermanfaat. Apabila digunakan secara sembarangan, tidak mengikuti aturan, maka ia akan merugikan bahkan menimbulkan efek-efek yang tidak diinginkan dan bisa membawa Anda ke kematian. Jangan sekali-sekali mencoba menggunakan obat yang seharusnya hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. Anda dapat berkonsultasi kepada apoteker atau asisten apoteker yang siap sedia membantu Anda di apotek.
Jangan sekali-sekali Anda mendekati atau mencoba menggunakan narkoba karena rasa penasaran/ingin tahu. Di samping karena berpotensi menyebabkan kecanduan, narkoba yang beredar di masyarakat sudah pasti ilegal sehingga Anda akan dikenai sanksi hukum yang tidak main-main. Jangan pertaruhkan masa depan Anda, jangan kecewakan orang tua, keluarga, dan orang-orang yang mengasihi Anda dan Anda kasihi.

Penggolongan Obat Tradisional

Peraturan Menteri Kesehatan RI No.179/MENKES/Per/VII/1976 menyatakan bahwa yang dimaksud sebagai obat tradisional adalah: “obat jadi atau obat terbungkus yang berasal dari alam, baik tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang belum mempunyai data klinis dan dipergunakan dalam usaha pengobatan berdasarkan pengalaman”.
dengan kriteria memenuhi syarati lmiah, protokol uji yang telah disetujui, pelaksana yang kompeten, memenuhi prinsip etika, tempat pelaksanaan uji memenuhi syarat.
Obat tradisional di Indonesia semula hanya dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:
  1. Obat tradisional atau jamu.
  2. Fitofarmaka.
Dengan semakin berkembangnya teknologi, maka telah diciptakan peralatan berteknologi tinggi yang membantu proses produksi sehingga industri jamu maupun industri farmasi mampu membuat jamu dalam bentuk ekstrak. Namun, disayangkan, pembuatan sediaan yang lebih praktis ini belum diiringi dengan perkembangan penelitian mengenai potensi bahan-bahan alam tersebut sampai dengan uji klinik.
Obat Bahan Alam Indonesia menurut Surat Keputusan Kepala BPPOM-RI No.Hk.00.05.4.2411 Tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia tertanggal 2 Maret 2005 adalah obat bahan alam yang diproduksi di Indonesia.
Negara kita sangat terkenal akan kekayaan hayatinya yang melimpah. Oleh karena itu, marilah kita mulai berpikir secara ilmiah mengenai pemanfaatan dan pengembangan bahan-bahan alam asli Indonesia yang berkhasiat obat, yang selama ini penggunaanya masih berdasarkan pengalaman nenek moyang bahkan berdasarkan mitos turun temurun.
Biologi merupakan ilmu dasar dengan bidang kajian yang sangat luas, dalam hal ini untuk mengenali dan mempelajari segenap aspek mengenai species bahan-bahan alam ini, mempelajari kemungkinan/potensinya untuk dijadikan obat alami, sedangkan Farmasi lebih mengkhususkan diri mempelajari secara lebih mendalam pemanfaatannya sebagai obat. Farmakologi adalah cabang ilmu yang mempelajari potensi suatu bahan berkhasiat obat terhadap sistem tubuh, mekanisme kerja dan efek sampingnya, dan berbagai penelitian untuk menemukan obat-obatan baru yang lebih baik daripada yang ada sebelumnya.
Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, obat bahan alam Indonesia dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu:
  1. Jamu.
  2. Obat ekstrak alam (herbal terstandar).
  3. Fitofarmaka.
1. Jamu (Empirical-based herbal medicine).
Obat-obatan yang tergolong jamu dikemas dan diberi lambang sebagai berikut: (kiri=lambang lama, kanan=lambang baru)*
Definisi:
Jamu adalah obat tradisional yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, maupun cairan yang berisi seluruh bahan nabati atau hewani yang menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional. Bahan-bahan jamu bukan merupakan hasil ekstraksi/isolasi bahan aktifnya saja. Pada umumnya, jenis ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari campuran berbagai tumbuhan obat atau sumber hewani yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5-10 macam bahkan lebih. Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Jamu yang telah digunakan secara turun-menurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun, telah membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan kesehatan tertentu.
Jamu harus memenuhi kriteria:
  • Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
  • Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris.
  • Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
Jenis klaim penggunaan:
  • Harus sesuai dengan jenis pembuktian tradisional dan tingkat pembuktiannya yaitu tingkat umum dan medium.
  • Harus diawali dengan kata-kata: “Secara tradisional digunakan untuk…” atau sesaui dengan yang disetujui pada pendaftaran.
2. Obat Herbal Terstandar (Scientific-based herbal medicine).
Obat-obatan yang tergolong herbal terstandar dikemas dan diberi lambang sebagai berikut: (kiri=lambang lama, kanan=lambang baru)*
Definisi:
Herbal terstandar adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam yang dapat berupa tumbuhan obat, hewan, maupun mineral. Untuk melaksanakan proses ini dibutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan berharga relatif mahal, ditambah dengan tenaga kerja yang mendukung, dengan pengetahuan maupun keterampilan pembuatan ekstrak. Selain proses produksi dengan teknologi maju, jenis ini pada umumnya telah ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian praklinik (uji menggunakan hewan coba), dengan mengikuti standar kandungan bahan berkhasiat, standar pembuatan ekstrak tumbuhan obat, standar pembuatan ekstrak dari sumber hewani, dan standar pembuatan obat tradisional yang higienis. Herbal terstandar harus melewati uji toksisitas akut maupun kronis (keamanan), kisaran dosis, farmakologi dinamik (manfaat), dan teratogenik (keamanan terhadap janin).
Obat Herbal Terstandar harus memenuhi kriteria:
  • Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
  • Klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah/praklinik.
  • Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
  • Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
Jenis klaim penggunaan:
  • Harus sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian umum dan medium.
3. Fitofarmaka (Clinical-based herbal medicine).
Obat-obatan yang tergolong herbal terstandar dikemas dan diberi lambang sebagai berikut: (kiri=lambang lama, kanan=lambang baru)*
Definisi:
Fitofarmaka merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti ilmiah dari penelitian praklinik sampai dengan uji klinik pada manusia dengan kriteria yang memenuhi syarat ilmiah, protokol uji yang telah disetujui, pelaksana yang kompeten, memenuhi prinsip etika, dan tempat pelaksanaan uji memenuhi syarat. Dengan uji klinik akan lebih meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan obat herbal di sarana pelayanan kesehatan. Masyarakat juga bisa didorong untuk menggunakan obat herbal karena manfaatnya jelas dengan pembuktian secara ilmiah. Di samping itu obat herbal jauh lebih aman dikonsumsi apabila dibandingkan dengan obat-obatan kimia karena memiliki efek samping yang relatif sangat rendah. Obat tradisional semakin banyak diminati karena ketersediaan dan harganya yang terjangkau.
Fitofarmaka harus memenuhi kriteria:
  • Aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan.
  • Klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik.
  • Telah dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi.
  • Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
Jenis klaim penggunaan:
  • Harus sesuai dengan tingkat pembuktian yaitu tingkat pembuktian umum dan medium.
dengan kriteria memenuhi syarati lmiah, protokol uji yang telah disetujui, pelaksana yang kompeten, memenuhi prinsip etika, tempat pelaksanaan uji memenuhi syarat.
* keterangan mengenai lambang dan ketentuan mengenai penggunaan lambang-lama dan lambang-baru dapat dibaca selengkapnya pada Surat Keputusan Kepala BPPOM-RI No.Hk.00.05.4.2411 Tentang Ketentuan Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia (klik di SINI untuk mengunduh) :)