Seorang laki-laki paruh baya, usianya 50 tahunan, namun masih tampak segar dan sehat. Sebut saja namanya, Arif. Wajahnya mudah sekali tersenyum dan enak dipandang. Pak Arif adalah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi yang sangat bergengsi di Jawa Timur. Ia juga mempunya usaha lain yang total penghasilannya sebulan mencapai ratusan juta rupiah. Tapi, dengan serba-kelebihan itu, Pak Arif lebih memilih hidup sederhana.
Zakat yang dikeluarkan Pak Arif tidak berbeda besarannya dengan zakat yang kita bayar: dua setengah persen dari total penghasilan. Tentu, itu bukanlah hal yang istimewa. Akan tetapi, yang paling membedakan adalah, bahwa yang dua setengah persen diambil Pak Arif untuk dirinya sendiri.
Sedangkan yang sembilan puluh tujuh setengah persen beliau infakkan di jalan Allah. Alasannya, karena Pak Arif merasa bahwa beliaulah yang fakir di hadapan Allah. Maka, beliau mengambil haknya sebagai fakir miskin: dua setengah persen.
Dalam kondisi orang jorjoran mencari uang untuk memperkaya diri dan menaikkan status sosial, Pak Arif justru menjauh dari gemerlap dunia. Yang paling menghenyakkan, alasan kedua mengapa Pak Arif hanya mengambil dua setengah persen dari total penghasilannya itu adalah, “Biar gampang ketika dihisab nanti di akhirat!” (Disarikan dari buku Belajar pada Kehidupan: Kisah-Kisah Nyata Seputar Kesabaran, Keikhlasan, dan Kejujuran karya Dwi Bagus MB, terbitan Mizania-Ramadan Kita PR Online, 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar