Rabu, 10 Juli 2013
SYARAT DAN HUKUMNYA SEORANG IMAM (dalam sholat berjama'ah)
1. Wanita dilarang mengimami pria.
Dengan kata lain seorang lelaki tidak boleh bermakmum kepada wanita. Jabir ra. mengabarkan, Muhammad Rosulullah saiv. bersabda: "Janganlah sekali-kali seorang perempuan mengimami laki- laki. Janganlah seorang badui mengimami muhajir. Dan janganlah seorang pendurhaka mengimami orang mukmin, kecuali karena paksaan dari penguasa yang ditakuti cambukannya atau pedangnya." (HR Ibnu Majah)
2. Yang pantas menjadi imam adalah yang pintar membaca Al- Qur’an dan lebih memahami sunnah.
Mengapa? Sebab Imam dalam sholat sangat menentukan sah tidaknya sholat tersebut. Misalnya saja, jika bacaan Qur’an sang imam tidak tepat makhroj atau tajwidnya, maka akan mempengaruhi kekhusyu’an para makmumnya Abu Mas’ud Al- Anshori menuturkan, Rosulullah saw. bersabda, "Orang yang pantas jadi imam {sholat berjamaah) ialah yang paling pandai membaca kitabullah. Jika ternyata mereka sama pandai, maka yang paling alim (mengerti) tentang sunnah. Jika ternyata mereka sama alim, maka yang paling dahulu hijrah. Jika ternyata mereka bersamaan pula hijrahnya, maka yang paling dahulu masuk Islam. Janganlah kamu menjadi imam dalam wilayah kekuasaan orang lain, dan janganlah pula duduk di tempat yang disediakan khusus untuk kemuliaan seseorang kecuali dengan izinnya." (HR Muslim)
3. Imam haruslah orang yang baik.
Maksud kata "baik" di sini adalah merujuk pada akhlaknya, baik tutur katanya maupun tindakannya. Jika orang yang jadi imam kurang baik akhlaknya, sekalipun ’alim akan menimbul¬kan pikiran bukan-bukan pada sebagian makmum. Misalnya saja dalam diri makmum akan terlintas pikiran, "orang suka bohong atau mengingkari janji begitu dijadikan imam". Pikiran semacam itu dapat mengganggu kekhusyukan kita dalam sholat berjama’ah. Ibnu Abbas ra. menjelaskan, Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Pilihlah imam-imam kalian dari orang-orang baik di antara kalian, karena sesungguhnya mereka itu duta kalian, tentang apa-apa antara kalian dengan Tuhan kalian’’. (HR. Daruquthni)
4. Tamu tidak berhak menjadi imam.
Abu Athiyyah menceritakan, bahwa Malik Ibnu Huwairits selalu mendatangi mushollanya untuk mengajarkan hadits. Suatu hari saat waktu sholat tiba, Abu Athiyyah berkata kepadanya, "Majulah engkau (sebagai imam)". Malik menjawab, "Hendaklah salah seorang di antara kalian yang maju ke depan. Tahukah kalian mengapa aku tidak mau maju ke depan? Aku pernah mendengar Rosulullah sazo. bersabda: ’Barangsiapa mengunjungi suatu kaum, maka janganlah ia mengimami mereka. Hendaklah salah seorang lelaki di antara mereka (kaum itu) yang menjadi imamnya’’. (HR. Ash-habus Sunan)
Apabila sang tamu lebih fasih bacaannya dan lebih ’alim, kemudian dipersilakan oleh tuan rumah menjadi iman, maka janganlah menolaknya. Dengan kata lain tamu itu harus mau menjadi imam karena atas permintaan tuan rumah.
5. Imam dianjurkan memeriksa barisan jama’ahnya.
Abas bin Malik ra. memberitahukan, Muhammad Rosulullah saw. apabila akan mengimami sholat melihat barisan para jama’ah di belakangnya dan bersabda, "Luruskan shof-shofkalian, karena lurusnya shof bagian dari kesempurnaan sholat". (HR. Muttafaq Alaih)
6. Imam dilarang panjangkan bacaan.
Abu Huroiroh ra. mengabarkan, Rosulullah saio. bersabda, "Apabila salah seorang di antara kamu mengimami sholat orang banyak, hendaklah ia memendekkan (bacaan) sholatnya, karena di antara makmum terdapat orang-orang tua dan orang yang lemah. Jika dia sholat sendiri, panjangkanlah (bacaan) sholatnya seberapa dia suka." (HR Muslim)
7. Ketika Nabi saw. berniat memanjangkan sholat.
Abu Qotadah ra. menginformasikan, Muhammad Rosulullah saw. bersabda, "Ketika aku berdiri hendak sholat, aku berniat hendak memanjangkan sholatku. Tetapi tiba-tiba terdengar olehku tangis bayi, maka kuringkaskan sholat itu. Sebab aku tidak ingin menyusahkan ibunya (yang turut bermakmum pada Nabi saw.)’’. (HR. Bukhori)
Bisa kita bayangkan apa yang terjadi seandainya bayi itu menangis, kemudian sang imam memanjangkan sholatnya. Pasti tangis si bayi semakin menjadi-jadi. Tentu para jama’ah tak lagi mampu berkonsentrasi. Apalagi ibu si bayi pasti bimbang, apakah tetap melanjutkan sholatnya atau membatalkannya lalu kembali sholat sendiri.
8. Usai mengimami Nabi saw. menghadap para Jama’ah
Usai mengimami Muhammad Rosulullah saw. kadang duduk menghadap kepada para jama’ah, yang berarti membelakangi kiblat. Samurah bin Jundab ra, mengutarakan, "Apabila Nabi saw. usai mengimami, beliau menghadap kepada kami (para makmum)". (HR. Bukhori)
9. Adakalanya usai mengimami Nabi saw. menghadap kanan.
Terkadang usai mengimami Nabi Muhammad Rosulullah saw menghadap ke sebelah kanan. Itulah sebabnya sebagian sahabat jika berjama’ah senang duduk di sebelah kanan, karena bisa terlihat beliau. Al-Baro’ bin Azib ra. menyatakan, "Apabila kami bermakmum di belakang Rosulullah saw., kami senang berada di sebelah kanan beliau, sebab usai sholat beliau menghadapkan wajahnya ke arah kami". (HR. Muslim)
(source : Pustaka.abatasa.co.id)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar